Archive for the ‘KEBUDAYAAN BATAK’ Category

LEGENDA BATAK   Leave a comment

LEGENDA DANAU TOBA

Pada jaman dahulu, hiduplah seorang pemuda tani yatim piatu di bagian utara pulau Sumatra.

Daerah tersebut sangatlah kering. Pemuda itu hidup dari bertani dan mendurung ikan, hingga pada suatu hari ia mendurung,sudah setengah hari ia melakukan pekerjaan itu namun tak satu pun ikan di dapatnya.

Maka dia pun bergegas pulang karena hari pun mulai larut malam, namun ketika ia hendak pulang ia melihat seekor Ikan yang besar dan indah , warnanya kuning emas. Ia pun menangkap ikan itu dan dengan segera ia membawa pulang ikan tersebut, sesampainya di rumah karena sangat lapar maka ia hendak memasak Ikan itu tetapi karena indahnya ikan itu.
Dia pun mengurungkan niatnya untuk memasak ikan itu, ia lebih memilih untuk memeliharanya, lalu ia menaruhnya di sebuah wadah yang besar dan memberi makannya, keesokan harinya seperti biasanya ia pergi bertani ke ladangnya, dan hingga tengah hari Ia pun pulang kerumah, dengan tujuan hendak makan siang, tetapi alangkah terkejutnya dirinya, ketika melihat rumahnya, didalam rumah nya telah tersedia masakan yang siap untuk di makan, ia terheran heran, ia pun teringat pada ikannya karena takut di curi orang, dengan bergegas ia lari ke belakang, melihat ikan yang di pancingnya semalam.

Ternyata ikan tersebut masih berada di tempatnya, lama ia berpikir siapa yang melakukan semua itu, tetapi karena perutnya sudah lapar , akhirnya ia pun menyantap dengan lahapnya masakan tersebut.

Dan kejadian ini pun terus berulang ulang, setiap ia pulang makan, masakan tersebut telah terhidang di rumahnya. Hingga pemuda tersebut mempunyai siasat untuk mengintip siapa yang melakukan semua itu, keesokan harinya dia pun mulai menjalankan siasatnya, Ia pun mulai bersembunyi diantara pepohonan dekat rumahnya. Lama ia menunggu, namun asap di dapur rumahnya belum juga terlihat, dan ia pun berniat untuk pulang karena telah bosan lama menunggu, namun begitu Ia akan keluar dari persembunyiannya, Ia mulai melihat asap di dapur rumahnya, dengan perlahan lahan ia berjalan menuju kebelakang rumah nya untuk melihat siapa yang melakukan semua itu.

Alangkah terkejutnya dirinya ketika ia melihat siapa yang melakukan semua itu, Dia melihat seorang Wanita yang sangat cantik dan ayu berambut panjang , dengan perlahan lahan Ia memasuki rumahnya, dan menangkap wanita tersebut. Lalu Ia berkata,

“ hai .. wanita, siap kah engkau, dan dari mana asalmu? ”

Wanita itu tertunduk diam , dan mulai meneteskan air mata, lalu pemuda itu pun melihat ikannya tak lagi berada di dalam wadah. Ia pun bertanya pada wanita itu,

“ hai wanita kemanakah ikan yang di dalam wadah ini? ”

Wanita itu pun semakin menangis tersedu sedu, namun pemuda tsb terus memaksa dan akhirnya wanita itu pun berkata

“ Aku adalah ikan yang kau tangkap kemarin” .

Pemuda itu pun terkejut, namun karena pemuda itu merasa telah menyakiti hati wanita itu , maka pemuda tsb berkata,

“ Hai wanita maukah engkau menjadi Istri ku..?? ”,

Wanita tsb terkejut , dia hanya diam & tertunduk ,lalu pemuda tsb berkata

“Mengapakah engkau diam ..!!” .

Lalu wanita tsb pun berkata , “ aku mau menjadi istri mu .. tetapi dengan satu syarat, apakah syarat itu balas pemuda itu dengan cepat bertanya, wanita itu berkata : “ Kelak jika anak kita lahir dan tumbuh, janganlah pernah engkau katakan bahwa dirinya adalah anakni Dekke(anaknya ikan) ”.

Pemuda itu pun menyetujui persyaratan tsb dan bersumpah tidak akan mengatakannya , Dan menikahlah mereka.

Hingga mereka mempunyai anak yang berusia 6 tahunan , anak itu sangatlah bandal alias jugul dan tak pernah mendengar jika di nasehati .

Lalu suatu hari sang ibu menyuruh anaknya untuk mengantar nasi ke ladang ketempat ayahnya , anak itu pun pergi mengantar nasi kepada ayahnya , namun di tengah perjalanan ia terasa lapar , Ia pun membuka makanan yang di bungkus untuk ayahnya, dan memakan makanan itu.

Setelah selesai memakannya , kemudian ia pun membungkusnya kembali dan melanjutkan perjalanannya ketempat sang ayah, sesampainya di tempat sang ayah Ia memberikan bungkusan tersebut kepada sang ayah , dengan sangat senang ayahnya menerimanya, lalu ayahnya pun duduk dan segera membuka bungkusan nasi yang di titipkan istrinya kepada anaknya . Namun alangkah terkejutnya ayahnya melihat isi bungkusan tersebut . Yang ada hanya tinggal tulang ikan saja,sang ayah pun bertanya kepada anaknya

“ hai anakku., mengapa isi bungkusan ini hanya tulang ikan belaka ”, anaknya nya pun menjawab, “ di perjalanan tadi perutku terasa lapar jadi aku memakannya”, sang ayah pun emosi, dengan kuat ia menampar pipi anaknya sambil berkata : “ Botul maho anakni dekke (betul lah engkau anaknya ikan),”

Sang anak pun menangis dan berlari pulang kerumah , sesampainya dirumah anaknya pun menanyakan apa yang di katakan ayahnya

“ Omak .. toho do na di dokkon amangi ? , botul do au anakni dekke (mak .benarnya yang dikatakan ayah itu , benarnya aku ini anaknya ikan) ” mendengar perkataan anaknya ibunya pun terkejut, sambil meneteskan air mata dan berkata di dalam hati.

“ Suamiku telah melanggar sumpahnya , dan sekarang aku harus kembali ke alamku ,”

Maka , langit pun mulai gelap , petir pun menyambar nyambar , Hujan badai pun mulai turun dengan derasnya, sang anak dan ibu raib, dari bekas telapak kaki mereka muncul mata air yang mengeluarkan air sederas derasnya, hingga daerah tersebut terbentuk sebuah Danau , yang Diberi nama Danau TUBA yang berarti danau tak tahu belas kasih , tetapi karena orang batak susah mengatakan TUBA, maka danau tersebut terbiasa disebut dengan DANAU TOBA….

Asal Mula Kolam Sampuraga

Alkisah, pada  zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun  hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup  sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik  orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya  yang suka kepada mereka.
Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya  beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan  tidak ada jarak antara majikan dan buruh.
“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke  sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang  Majikan.
“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga  penasaran.
“Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya  memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,”  jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.
“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi  merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu  saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.
“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak  yang berbakti” puji sang Majikan.
Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.
“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan  yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,”  kata Sampuraga kepada ibunya.
“Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?” tanya ibunya.
“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang  memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena  tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.
“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita  tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki  alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak  pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru.
“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika  Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.
“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru  sang ibu.
Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga segera  mempersiapkan segala sesuatunya.
Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya.  “Bu, Raga berangkat! Jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja  keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.
Berhati-hatilah  di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.
Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium  tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati  ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak  mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian  merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu  berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata  sang Ibu.
Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya  seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan  belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota  Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah  beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota.  Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu  menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.
Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran  pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang  kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin  bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan  ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha  dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia  tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju.  Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.
Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan  Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal  paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.
“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah  engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.
“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri  Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.
Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara  tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih  disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.
Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar  sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu,  termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya  akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang  kaya-raya.
“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri  bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin.  Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda  tua itu.
Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal  secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk  menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan  Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian.  Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya  sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu  adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.
Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa  menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.
Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak  asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil  mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat  kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.
“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua  itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.
Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya,  bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan  terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua  itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku  sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan  mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.
“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah  melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali  merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.
“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal  dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.
Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali  mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang  menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani  menengahinya.
Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua  orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata,  perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah  ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri
Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal  dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun  turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga.  Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara  ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat  penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang  selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.
Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi  kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur  berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua  unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan.  Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara  pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu  kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi  salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.
Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang  mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan  sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai  pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan  sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat  dan perilaku Sampuraga.

LEGENDA SIRAJA LONTUNG

versi 1:

SARIBU RAJA, SIBORU PAREME, BABIAT SITELPANG, LONTUNG

Saribu Raja & Siboru Pareme sebenarnya kakak beradik Kandung (namariboto). Pada masa itu jumlah manusia masih sedikit. Sudah kodrat alam, Saribu Raja mencintai adiknya sama seperti mencintai gadis lain. Keduanya terlanjur seperti suami istri, sehingga Siboru Pareme hamil. Mengetahui keadaan itu, saudaranya yang lain Sagala Raja, dan Malau Raja sangat murka dan berupaya membunuh kedua saudaranya Saribu Raja dan Siboru Pareme. Tetapi untuk melaksanakan niat itu tidak ada yg tega untuk membunuh. Akhirnya mereka sepakati untuk membuang keduanya ke tengah hutan atau tombak longo longo secara terpisah. Siboru Pareme dibuang kesekitar wilayah Ulu Darat di atas Sabulan dan Saribu Raja dibuang jauh kearah Barat (Barus).

Siboru Pareme hampir putus asa, karena tempat pembuangannya itu ternyata habitat harimau (banyak harimau berkeliaran) yg siap memangsanya.

Suatu ketika, Siboru Pareme yg sudah hamil tua dan kesepian , dikejutkan oleh seekor harimau yang mengaum mendekatinya. Namun karena sudah terbiasa melihat harimau dan penderitaan yg dialaminya, ia tidak takut lagi dan pasrah untuk di mangsa . Setelah menunggu beberapa saat, ternyata harimau itu tidak memangsanya. Harimau tadi membuka mulutnya lebar-lebar dihadapan Siboru Pareme seakan meminta bantuan. Dari jarak dekat Siboru Pareme melihat ada sepotong tulang yg tertancap di rahang harimau itu. Timbul rasa iba dihati Siboru Pareme. Tanpa ragu Siboru Pareme mencabut potongan tulang itu dan di buangnya. Setelah itu harimau yg dikenal buas itu menjadi jinak kepada Siboru Pareme. Sejak itu harimau yg dikenal BABIAT SITELPANG setiap pagi dan sore mengantar daging hasil buruannya ketempat Siboru Pareme. Budi baik yang diterimanya dari wanita yang sedang hamil tua itu menumbuhkan rasa sayang BABIAT SITELPANG yang diwujudkannya dengan tetap menjaganya hingga melahirkan SIRAJA LONTUNG.

SIRAJA LONTUNG yg hidup dengan ibunya ditengah hutan sekitar Ulu Darat selalu didampingi oleh BABIAT SITELPANG. Tidak seorang pun manusia lain yang mereka kenal. Namun Siboru Pareme selalu memberi pengetahuan kemasyarakatan kepada anaknya termasuk partuturan adat batak.

Setelah SIRAJA LONTUNG beranjak dewasa dan sudah bisa menikah, ia bertanya kepada ibunya di mana kampung tulangnya. Ia sangat berniat menikah dengan putri tulangnya (paribannya). Siboru Pareme merasa sedih dan sejenak terdiam. Hatinya gusar, kalau diberitahu yang sebenarnya, takut tulangnya yg membuang ke tombak longo longo itu membunuh SIRAJA LONTUNG, Siboru Pareme selalu berupaya mengelak dari pertanyaan anaknya. Namun karena tidak ingin anaknya menjadi korban kemarahan tulangnya, akhirnya Siboru Pareme membuat siasat. Ia harus mengorbankan dirinya untuk dikawini SIRAJA LONTUNG, KARENA TIDAK ADA MANUSIA DI HUTAN ITU.

Suatau malam menjelang tidur Siboru Pareme memanggil anaknya. “Sudah sejak lama kau menanyakan boru tulangmu, Sebenarnya anakku…kau sudah saya bohongi” ujar Siboru Pareme dan mulai menjelaskan ciri-ciri paribannya. Boru tulangmu itu persis seperti saya, baik postur tubuh dan rambutnya, tingginya juga sama dengan saya. Tetapi kalau itu yg kau inginkan, saya juga senang. Pergilah mencari paribanmu. Kalau saya pergi mencari ayahmu ke arah barus, kalian bersama istrimu tinggal disini”, ujar Siboru Pareme dengan serius membuat SIRAJA LONTUNG manggut manggut.

Kemudian Siboru Pareme merekayasa sebuah tempat sebagai kampung tulangnya.

Kepada SIRAJA LONTUNG, Siboru Pareme memesankan jangan sampai masuk ke kampung tulangnya.” Tetapi lihatlah boru tulangmu tengah mandi sore di Pansur sana”, kata ibunya sambil menunjuk sebuah pansur dari atas pebukitan Ulu Darat. “Kamu nanti berjalan dari sana, kalau kau langsung turun dan tembak lurus, kamu akan kesulitan, saya kuatir kamu masuk jurang”, kata ibunya sanbil mengarahkan SIRAJA LONTUNG mengambil jalan melingkar ke pansuran itu walaupun ada jalan yg lebih cepat menuju tempat pansuuran itu.

Setelah SIRAJA LONTUNG berlalu, Siboru Pareme bergegas pergi ke pancuran (pansur) yang ditunjukkannya kepada anaknya. Ia mengambil jalan pintas dan tiba lebih awal dari SIRAJA LONTUNG. Dengan tergesa-gesa dia membuka pakaian laklak dan mandi di pansur itu. Waktu sudah semakin sore, matahari sudah mulai tenggelam. Ia sudah mulai mendengar tanda-tanda SIRAJA LONTUNG sudah dekat . Hati Siboru Pareme mulai berdebar, detakan jantungnya mulai dag dig dug, karena dia kuatir dikenal anaknya SIRAJA LONTUNG yg menjadi calon suaminya.

SIRAJA LONTUNG semakin mendekat. Ia mendengar ada manusia tengah mandi di pansuran itu. “ Berarti benar apa yang diberitahu ibuku”, katanya dalam hati, sambil mengintip dari celah-celah pohon. Ia tidak sabar terlalu lama lagi, karena hari sudah gelap dan langsung menghampiri Siboru Pareme, setelah membiarkan Siboru Pareme menutupi tubuhnya dengan kain laklak.

“Bah benar juga yg dibilang ibuku, tidak ada ubahnya seperti dia”, katanya dalam hati. “Santabi boru ni tulang, saya ingin menyampaikan pesan ibuku”, kata SIRAJA LONTUNG dan menggapai tangan Siboru Pareme serta meremas jemari perempuan yang disebut paribannya itu, dan menyelipkan cincin ibunya ke jari manis dan ternyata pas. “Berarti tidak salah lagi, kaulah paribanku itu. Wajahmu seperti ibuku dan cincin ibuku cocok dijari manismu,” lanjutnya merasa yakin.

Tanpa ragu dia menyampaikan niatnya untuk mengawini paribannya itu. Dengan malu-malu, sambil menutupi sebagian pipinya dengan rambut yg hitam panjang, menjawab pinangan itu dengan setuju. Kemudian membawanya ke tempat tinggalnya di sekitar wilayah Ulu Darat.

Malam semakin pekat, keduanya pulang sesuai pesanan ibunya. Namun SIRAJA LONTUNG terkejut, sebab ibunya tidak lagi di jumpai di rumahnya. Ia teringat pesan ibunya yang berniat mencari ayahnya SARIBU RAJA kearah Barus. Keduanya hidup serumah dan menjadi suami istri, dan lahirlah anak mereka tujuh laki-laki dan satu perempuan. Masing-masing bernama yaitu: Toga Sinaga, Tuan Situmorang, Toga Pandiangan , Toga Nainggolan , Toga Simatupang , Toga Aritonang dan Toga Siregar. Dan satu-satunya putrinya kawin dengan marga Simamora. Namun setelah perkawinan mereka, tidak lama kemudian suaminya meninggal dan dia kawin lagi ke Marga Sihombing.

SIRAJA LONTUNG

 versi 2

Anak dari Si RAJA BATAK ada dua yakni Guru Tatea Bulan dan Raja Sumba (Isumbaon).

Sekarang kita fokus pada keturunan Guru Tatea Bulan di mana dia mempunyai lima putra dan empat putri sebagai berikut:

1. Raja Biak-biak (putra)

2. Tuan Saribu Raja (putra)

3. Siboru pareme (putri)

4. Limbong Mulana (putra)

5. Siboru Paromas (putri)

6. Sagala Raja (putra)

7. Siboru Biding Laut (putri)

8. Malau Raja (putra)

9. Nan Tinjo (putri)

Kisahnya adalah sebagai berikut :

Tuan Saribu raja bertumbuh menjadi dewasa, demikian pula adiknya yang perempuan Siboru pareme. Langkanya manusia, terisolasinya tempat tinggal, naluri dan dorongan alamiah pada diri mereka membuat mereka lepas kendali. Hubungan gelap di antara mereka akhirnya membawa buah. Siboru pareme hamil.Rahasia yang selama ini dipendam kini terungkap. Incest demikian jelas merupakan pelanggaran serius.

Adat dan kesepakatan menetapkan hukuman mati bagi mereka berdua. Namun karena kehamilannya Siboru Pareme tak boleh dibunuh. Dia dibuang ke sebuah hutan di atas Sabulan sekrang, satu daerah yang dianggap sebagai sarang harimau. Biarlah harimau itu yang membunuhnya, kalau bukan kelaparan dan deritanya sendiri. Begitulah pikiran Limbong Mulana dan adik-adiknya.

Singkat cerita, siboru pareme suatu ketika menolong seekor harimau (ompu i ) datang membawa deritanya dimana secercah tulang tertancap di kerongkongannya. Siboru Pareme mengeluarkan serpiah tulang itu dan sejak itu timbullah sejenis persahabatan di antara mereka (makanya keturunan Lontung tidak pernah akan dimakan harimau dihutan, karena ada babiat setelpang yang akan menolongnya). Semua proses persalinan yang dialami Siboru Pareme , juga dibantu oleh Harimau tadi, lalu lahirlah seorang laki-laki dan diberi nama “si Raja Lontung”.

Si Raja Lontung pun sudah dewasa, dan Siboru Pareme yakin dan tahu bahwa Si Raja Lontung tidak dapat menemukan seorang perempuan jadi isterinya, niscaya dia akan mati lajang tanpa keturunan. Lalu suatu siasat dikembangkan dalam kerahasiaan pribadi yang amat sangat. pada satu saat yang baik Siboru Pareme menyerahkan cincinnya pada Si Raja Lontung dengan pesan : Pergilah ke tepian yang ada di kejauhan sana. Tunggulah disana hingga paribanmu turun mengambil air. Dia mirip sekali dengan saya hingga sulit dibedakan. Pasangkan cincin ini pada jarinya dan lihat ini pun harus pas betul. Bila hal ini telah terbukti bujuklah dia menjadi isterimu. Selanjutnya Siboru pareme menrengkan jalan berliku yang harus ditempuh anaknya. Si Raja Lontung pun berangkat menapaki jalan berliku seperti yang telah dirunjuki oleh ibunya. Sementara itu si Boru Pareme pun bernagkat ke tepian yang sama. Dia mengambil jalan pintas agar dapat mendahului anaknya. Setibanya disana dia pun mendandani dirinya sedemikian rupa hingga nampak lain dan lebih muda. pada hari anaknya tiba, dia sudah siap.

Si Raja Lontung tiba. Setelah menunggu sesaat seorang perempuan yang mirip dengan ibunya (dan memang ibunya) turun ke tepian untuk mengambil air. Satu acara perkenalan yang singkat terjadi dan sekepakatan dicapai, lalu keduanya minggat untuk kawin di tempat lain. Jadilah Si Raja Lontung Oedipus-nya orang Batak. Bagi siboru Pareme ini merupakan kawin sumbang yang kedua.

Penyamaran dan lakon Siboru Pareme demikian sempurna hingga kecurigaan Si Raja Lontung tak pernah berkembang dan dia tak pernah yakin bahwa dia telah memperistri ibunya.

SiRaja Lontung mempunyai tujuh putra dan dua putri :

1.   Ompu Tuan Situmorang (putra)

2.   Sinaga Raja (putra)

3.   Pandiangan (putra)

4.   Nainggolan (putra)

5.   Simatupang (putra)

6.   Aritonang (putra)

7.   Siregar (putra)

8.   Siboru Amak Pandan (putri) dan

9.   Siboru Panggabean (putri) Kedua putri ini kawin dengan Simamora  dan Sihombing.

Namun kedua boru ini lebih lazim dipanggil “Sihombing-Simamora”

Ketujuh putra ini kemudian menurunkan marga Lontung yang tujuh itu, masing-masing menurut         namanya. Satu hal yang unik ialah bahwa ketujuh marga Lontung ini tidak merasa puas bila tidak      menyertakan kedua boru itu dalam bilangan dan kelompoknya. Inilah cikal bakal sebutan “Lontung     Sisia Sada Ina Pasia Boruna Sihombing-Simamora“.

LEGENDA SI BORU NATUMANDI HUTABARAT

Gadis ini selalu dipingit oleh kedua orangtuanya karena parasnya yang cukup cantik bak seorang bidadari. Di zamannya, gadis ini diyakini yang tercantik diantara gadis-gadis di Silindung (Tarutung). Tak heran, banyak pria yang tergila-gila kepadanya. Namun gadis ini menurut cerita masyarakat dan keturunan keluarganya yang saat ini masih hidup terakhirnya menikah dengan seekor ular.

Berikut hasil penelusuran wartawan media ini, tentang legenda Si Boru Natumandi selama sebulan lebih. Berawal saat si boru Natumandi diusianya yang sudah beranjak dewasa, memiliki pekerjaan sehari-hari sebagai seorang petenun ulos. Disebuah tempat khusus yang disediakan oleh orangtuanya, setiap hari Si boru Natumandi lebih sering menyendiri sambil bertenun, kesendirian itu bukan karena keinginannya untuk menghindar dari gadis-gadis desa seusianya, namun karena memang kedua orangtuanya lah memingit karena terlalu sayang.

Sayang, saat penelusuran ke berbagai narasumber untuk mengetahui siapa sebenarnya nama kedua orangtuanya, marga-marga Hutabarat yang tinggal di Desa Hutabarat Banjar Nauli, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara (Tempat asal kampung halaman Si boru Natumandi) tidak satupun yang mengetahui persis siapa nama kedua orangtuanya.

Namun salah satu warga Desa Hutabarat yakni Lomo Hutabarat (51) yang mengaku satu garis keturunan dengan keluarga Si Boru Natumandi belum lama ini berkata, bahwa dulunya kampung halaman Siboru Natumandi adalah di Dusun Banjar Nahor, Desa Hutabarat, namun dusun itu kemudian pindah sekitar 500 meter dari desa semula dan sekarang diberi nama Dusun Banjar Nauli.

Dikatakan Lomo Hutabarat, bahwa dari 3 anak si Raja Nabarat (Hutabarat) antara lain Sosunggulon, Hapoltahan dan Pohan, Si boru Natumandi dikatakan berasal dari keturunan Hutabarat Pohan. Hanya penuturan itu yang dapat diperoleh dari Lomo Hutabarat. Sementara itu keturunan Si boru Natumandi lainnya yakni L Hutabarat (76) mengisahkan, bahwa dia juga tidak mengetahui persis cerita yang sebenarnya tentang Si boru Natumandi, menurutnya ada beberapa versi tentang legenda gadis cantik ini.

Berikut kisah Siboru Natumandi yang diketahui L Hutabarat. Suatu hari di siang bolong, Si boru Natumandi sibuk bertenun di gubuk khususnya, tiba-tiba seekor ular besar jadi-jadian menghampirinya, konon ular tersebut dikatakan orang sakti bermarga Simangunsong yang datang dari Pulau Samosir. Saat ular itu berusaha menghampiri si boru Natumandi, ia justru melihat sosok ular tersebut adalah seorang pria yang gagah perkasa dan tampan. Saat itulah, sang ular berusaha merayu dan mengajak Si boru Natumandi untuk mau menikah dengannya.

Melihat ketampanan dan gagahnya sang ular jadi-jadian tersebut, Siboru Natumandi akhirnya menerima pinangan tersebut, setelah pinangannya diterima, sang ular kemudian mengajak Si Boru Natumandi untuk pergi menuju kearah sungai Aek Situmandi dan melewati tempat pemandian sehari-hari Si boru Natumandi di Sungai Aek Hariapan. Dari tempat itu, mereka meninggalkan pesan kepada orangtua Si Boru Natumandi dengan cara menabur sekam padi dari tempat bertenun hingga ke Liang Siboru Natumandi sekarang. Pesan sekaligus tanda itu artinya agar Bapak/Ibu dan semua keluarga mengetahui kalau dia telah pergi dan akan menikah dengan seorang pria, dimana sekam padi tersebut bermakna sampai dimana sekam ini berakhir, disitulah Si Boru Natumandi berada.

Sore harinya, saat kedua orangtuanya pulang dari perladangan, mereka mulai curiga melihat putri semata wayang mereka tidak ada ditempatnya bertenun dan juga tidak ada dirumah, akhirnya kedua orangtuanya memutuskan untuk memberitahukan warga sekitar untuk melakukan pencarian.

Melihat sekam padi yang bertaburan bak sebuah garis pertanda dan tak kunjung ditemukannya Si boru Natumandi hingga keesokan harinya, akhirnya taburan sekam di tepi sungai Aek Situmandi dan berujung disebuah liang/gua yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari kampung halaman Si boru Natumandi diyakini kalau Si boru Natumandi menikah dengan seekor ular.

Namun versi cerita lainnya, ternyata Si boru Natumandi tidak menikah dengan siluman ular yang bermarga Simangunsong, akan tetapi siluman ular tersebut malah meninggalkan si boru Natumandi begitu saja disebuah hamparan tak berpenduduk.

Setelah ditinggalkan begitu saja, Si boru Natumandi terus menerus menangis karena telah tertipu siluman ular tersebut, namun ketika itu seorang pengembala datang dan menghampirinya, penggembala tersebut juga terpikat melihat keindahan tubuh dan kecantikannya, lalu sipengembala mengajaknya agar mau menikah dengannya. Konon dalam versi ini, si pengembala tersebut dikatakan bermarga Sinaga.

Sipengembala kemudian membawa Si boru Natumandi ke Pulau Samosir untuk dinikahi. Berselang beberapa generasi keturunan si boru Natumandi dan sipengembala bermarga Sinaga tersebut di Samosir, keturunannya dikatakan pernah berusaha mencari asal usul si boru Natumandi (Untuk mencari Tulang/pamannya). Usaha pun dimulai dengan menyeberangi Danau Toba dengan sebuah perahu kayu menuju Kota Tarutung dengan membawa sejumlah makanan khas adat batak. Namun sesampainya di Sipoholon (Kota Sebelum Tarutung saat ini) ada keturunan Hutabarat Pohan bermukin disana, yakni dari keturunan Raja Nabolon Donda Raja.
Saat rombongan bertanya tentang Si boru Natumandi, keturunan Raja Nabolon Donda Raja yang tinggal di Sipoholon langsung mengakui kalau merekalah keturunan si boru Natumandi, dan saat itu makanan yang dibawa keturunan si boru Natumandi langsung mereka terima hingga akhirnya acara syukuran pun dilakukan. Padahal keturunan Si boru Natumandi sebenarnya adalah anak kedua dari si Hutabarat Pohan yakni si Raja Nagodang yang sampai saat ini masih ada tinggal di Dusun Banjar Nauli.

Setelah acara syukuran dilakukan, rombongan keturunan Si Boru Natumandi pun berangkat kembali ke Samosir untuk memberitahukan kabar tersebut kepada keluarga. Namun saat menyeberangi Danau Toba perahu yang mereka tumpangi tenggelam hingga semua yang ada dalam perahu meninggal dunia.

Versi selanjutnya, Si boru Natumandi dikatakan menikah dengan resmi, hal ini menurut L Hutabarat, karena sejak dia masih kecil pernah melihat sebuah guci yang terbuat dari kayu tempat mas kawin si boru Natumandi di rumah saudaranya boru Simatupang. Saat itu, boru Simatupang mengatakan kepada L Hutabarat bahwa guci tersebutl adalah tempat mas kawin si boru Natumandi.

Guci tersebut konon memiliki sejarah tersendiri, dimana isi guci tersebut hanya dipenuhi kunyit yang suatu saat akan berubah menjadi kepingan/batangan emas, hal ini diberikan dan dipastikan keluarga suami Si boru Natumandi yang memiliki kesaktian, dan selanjutnya kepada kedua orangtuanya diminta untuk tidak membuka guci tersebut sebelum tujuh hari tujuh malam. Akan tetapi, orangtua Si boru Natumandi melanggar permintaan tersebut.

Setelah kedua orangtuanya membuka guci itu, ternyata kunyit tersebut sudah mulai berubah mejadi batangan emas murni. Nasib sial pun dialami kedua orangtua si boru Natumandi kala itu. Tatkala usia orangtua si boru Natumandi beranjak ujur, akhirnya mereka menimbun emas tersebut di Dolok Siparini (Masih di Desa Hutabarat) karena takut akan menjadi bahan rebutan bagi adik-adiknya dan keluarganya (Dari pihak laki-laki) suatu saat nanti, sebab banyak diantara keluarganya yang mengetahui tentang kisah guci ini.
“Cerita saya ini bukanlah yang menjadi sejarah yang pasti, saya juga hanya mendengar cerita-cerita dari sejak saya masih kecil, sehingga cerita saya tadi bukanlah yang bisa saya bilang pasti, kalau cerita sejarah yang sebenarnya tidak ada lagi sekarang yang tahu,” tutur L Hutabarat sambil meneguk kopinya yang sudah mulai dingin.

Saat ini, lokasi Gua Liang Si Boru Natumandi dijadikan sebagai salah satu objek wisata oleh Pemkab Taput. Banyak orang berkunjung ke tempat ini untuk meminta rejeki atau hal-hal lain. Hal terbukti dimana dilokasi liang Si Boru Natumandi terdapat tumpukan-tumpukan sesajen yakni berupa puntungan-puntungan rokok yang tersusun teratur dan beberapa kelopak daun sirih. Sayangnya, penataan objek wisata ini masih kurang mendapat perhatian dari pihak Pemkab Tapanuli Utara. Sebab disekitar lokasi ini, masih belum ada penataan objek wisata yang baik, dan masih banyaknya sampah di areal gua ini.

Posted 13/07/2011 by Sibotolungun in KEBUDAYAAN BATAK